Written by Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah Friday, 08 July 2011 09:29
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)
Diakui
atau tidak, salah satu sebab kerusakan yang merebak di masyarakat
adalah tampilnya wanita dengan memamerkan auratnya. Pintu kerusakan pun
kian lebar dengan dukungan teknologi yang kian mudah dan murah.
Sehingga aurat wanita selain dapat ‘dinikmati’ secara langsung, juga
dapat melalui media seperti foto, VCD, hingga dunia maya. Pelecehan
seksual, perselingkuhan, seks bebas, pemerkosaan, maraknya prostitusi
adalah sekelumit persoalan sekaligus mata rantai dari dampak yang
ditimbulkannya.
Telah dimaklumi bahwa Allah I menciptakan
wanita dengan tabiat senang berhias. Dan dengan kemurahan-Nya, Dia
membolehkan wanita memakai seluruh perhiasan yang ada, selama tidak ada
dalil yang melarang dan membolehkan wanita menempuh cara-cara yang
diperkenankan oleh syariat guna mempercantik dan menghias dirinya.
Namun
di sana ada sisi yang tak boleh diabaikan. Syariat menetapkan wanita
adalah aurat, sebagaimana disabdakan Rasul yang mulia r:
“Wanita
itu adalah aurat maka bila ia keluar rumah setan menyambutnya1.” (HR.
At-Tirmidzi no. 1183, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwaul
Ghalil no. 273, demikian pula Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul
Musnad, 2/36)
Yang namanya aurat berarti membuat malu bila
terlihat oleh orang lain (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283), hingga perlu dijaga
dengan baik. Karena wanita adalah aurat berarti suatu hal yang
mengundang malu bila ia terlihat oleh lelaki yang bukan mahramnya,
apatah lagi bila ia terlihat dalam keadaan berhias. Dengan demikian
wanita tidak diperbolehkan menampakkan perhiasannya di hadapan lelaki
yang bukan mahram. Bahkan ia harus menutupnya, khususnya ketika keluar
rumah dan ketika berhadapan dengan pandangan lelaki, karena menampakkan
perhiasan di hadapan mereka dapat mengundang fitnah. (Al-Mukminat,
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 31)
Allah I melarang wanita
untuk memperdengarkan suara dari perhiasan yang tersembunyi di balik
bajunya, apatah lagi tentunya bila menampakkan wujud perhiasan yang
sedang dikenakan. Dia yang Maha Suci berfirman:
“Dan
janganlah mereka (para wanita) menghentakkan kaki-kaki mereka agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An-Nur: 31)
Al-Imam
Al-Qurthubi t berkata: “Janganlah seorang wanita menghentakkan kakinya
ketika berjalan untuk memperdengarkan suara gelang kaki yang
dikenakan, karena memperdengarkan suara perhiasan yang sedang dipakai
sama dengan memperlihatkan wujud perhiasan tersebut bahkan lebih.
Sasaran dari pelarangan ini adalah agar wanita menutup dirinya (dari
segala hal yang dapat mengundang fitnah).” Beliau melanjutkan: “Siapa
di antara wanita yang melakukan hal ini karena bangga dengan perhiasan
yang dipakai maka perbuatan tersebut makruh. Dan bila ia melakukannya
dengan maksud tabarruj2 dan sengaja menunjukkannya kepada kaum lelaki
maka ini haram lagi tercela.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/158)
Dalam ayat lain Allah I melarang kaum wanita untuk keluar rumah dengan ber-tabarruj:
“Dan
tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan bertabarruj
sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang dahulu.” (Al-Ahzab:
33)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menafsirkan ayat
di atas dengan ucapannya: “Yakni janganlah kalian banyak keluar rumah
dengan berdandan dan memakai wewangian seperti kebiasaan orang-orang
jahiliyyah yang dahulu, yang mereka itu tidak memiliki ilmu dan tidak
pula agama.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 664)
Dalam Islam,
wanita diperintah untuk berhijab3 ketika berhadapan dengan lelaki yang
bukan mahramnya, sama saja baik di luar rumah ataupun di dalam rumah.
Allah telah berbicara tentang hijab ini:
“Katakanlah
kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan
mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan
perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin
ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas
leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali
di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah
suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau
putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita
mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya
syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang
belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan
kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian
semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian
beruntung.” (An-Nur: 31)
Allah I dalam ayat di atas memerintahkan
kaum wanita agar jangan memperlihatkan perhiasan mereka kecuali di
hadapan beberapa orang yang disebutkan dalam ayat. Semua ini dalam
rangka berhati-hati dari fitnah. Kemudian Allah mengecualikan perhiasan
yang boleh ditampakkan yaitu perhiasan luar yang biasa nampak dan
tidak mungkin ditutupi. Karena memang perhiasan wanita itu ada yang
dzahir (perhiasan luar) dan ada yang batin (perhiasan dalam). Perhiasan
dzahir boleh dilihat oleh semua orang baik dari kalangan mahram maupun
ajnabi (bukan mahram), adapun yang batin maka tidak halal ditampakkan
kecuali di hadapan orang-orang yang Allah sebutkan dalam ayat di atas.
Manusia berselisih pendapat tentang batasan perhiasan luar seorang
wanita. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/152)
Al-Hafidz Ibnu
Katsir t berkata: “Allah menyatakan: ‘Jangan menampakkan perhiasan
mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi)’,
yakni para wanita tidak boleh menampakkan sesuatu dari perhiasannya
kepada lelaki ajnabi (non mahram) kecuali perhiasan yang tidak mungkin
disembunyikan, seperti rida dan tsiyab4 yang dikatakan Ibnu Mas’ud.”
(Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim, 3/294)
Allah I berfirman kepada Nabi-Nya:
“Wahai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta
wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab
mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka
untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga
mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”
(Al-Ahzab: 59)
Allah berfirman kepada kaum mukminin:
“Apabila
kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabi maka mintalah dari balik
tabir. Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan
hati-hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
Anas bin Malik z berkisah
tentang awal mula turunnya perintah hijab ini: “Aku berusia sepuluh
tahun tatkala Rasulullah r hijrah ke Madinah. Maka mulailah aku
melayani beliau sampai waktu sepuluh tahun dari akhir kehidupan beliau.
Aku adalah orang yang paling tahu saat diturunkannya perintah hijab,
bertepatan dengan pernikahan Rasulullah r dengan Zainab bintu Jahsyin.
Pagi hari setelah malam pengantin, Rasulullah r mengadakan walimah
dengan menyajikan roti dan gandum. Aku pun diutus untuk mengundang para
shahabatnya. Datanglah undangan sekelompok demi sekelompok, mereka
menyantap hidangan kemudian keluar, demikian seterusnya. Aku memanggil
semua shahabat beliau hingga tidak tersisa seorang pun kecuali telah
menyantap hidangan. Aku katakan kepada beliau: “Wahai Nabi Allah, aku
tidak mendapatkan lagi orang yang bisa aku panggil untuk menyantap
hidangan walimah ini.” Beliau berkata: “Bila demikian, angkatlah
makanan kalian.” Di antara para undangan ada tiga orang yang belum
beranjak dari tempat tinggal Nabi, mereka asyik berbincang-bincang,
hingga tinggal lama di tempat beliau. Beliau pun bangkit dan keluar.
Aku ikut keluar bersama beliau agar orang-orang yang masih tinggal
tersebut merasa dan berpikir untuk keluar. Rasulullah r berjalan, aku
pun turut berjalan, hingga beliau sampai di ambang pintu rumah ‘Aisyah
x. Lalu berkata: “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wahai ahlul bait.”
‘Aisyah menjawab: “Wa’alaikassalam wa rahmatullah, bagaimana engkau
dapatkan istrimu yang sekarang, semoga Allah memberkahimu.” Setelah itu
beliau mendatangi rumah istri-istri beliau seluruhnya dan mengatakan
sebagaimana perkataan beliau kepada ‘Aisyah dan mereka pun mengucapkan
kepada beliau semisal dengan ucapan ‘Aisyah5. Beliau menyangka tiga
orang yang berada di rumah beliau telah pergi, beliau pun kembali dan
aku ikut menyertai sampai beliau masuk menemui Zainab. Ternyata mereka
masih tetap duduk berkumpul di tempat tersebut belum beranjak pergi.
Sementara Rasulullah r adalah orang yang sangat pemalu6. Beliau keluar
lagi dan aku tetap menyertai, hingga sampai di ambang pintu rumah
‘Aisyah. Lalu ketika beliau memastikan mereka telah pergi, beliaupun
kembali dan aku ikut bersama beliau. Ketika kaki beliau menjejak ambang
pintu, beliau pun menutupkan tirai antara aku dan beliau (yang sedang
bersama istrinya).” (HR. Al-Bukhari no. 4793, 5166 dan Muslim no. 1428)
Mungkin
ada yang beranggapan bahwa berhijab ini merupakan perintah yang khusus
bagi ummahatul mukminin (ibu kaum mukminin, yakni istri-istri
Rasulullah r), tidak berlaku bagi wanita selain mereka. Maka kita
tanyakan, siapakah yang lebih suci hatinya daripada Ummahatul Mukminin
dan para shahabat Rasulullah r, yang Allah telah mempersaksikan
keimanan mereka dan Dia ridha terhadap mereka? Mereka diperintah untuk
berhijab demi lebih menjaga kesucian hati mereka, lalu bagaimana lagi
dengan orang-orang sekarang yang telah dikuasai oleh setan? Adakah
mereka mengaku hati mereka lebih suci daripada istri-istri Rasulullah r
di dunia dan akhirat sehingga mereka tidak perlu berhijab?
Asy-Syaikh Ibnu Baz t berkata tentang ayat Allah I:
“Apabila
kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabi maka mintalah dari balik
tabir. Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan
hati-hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
“Hukum yang disebutkan dalam
ayat ini berlaku umum untuk istri Nabi r dan selain mereka dari
kalangan wanita-wanita kaum mukminin.” (Hukmus Sufur wal Hijab, hal.
58)
Beliau juga menyatakan: “Ayat yang mulia ini merupakan nash
yang jelas tentang wajibnya wanita berhijab dan menutup diri dari
lelaki. Allah I menjelaskan dalam ayat ini bahwasanya berhijab itu
lebih suci bagi hati kaum lelaki dan wanita dan lebih menjauhkan dari
perbuatan keji dan sebab-sebabnya. Allah mengisyaratkan bahwa tidak
berhijab merupakan kekotoran dan kenajisan sedang berhijab merupakan
kesucian dan keselamatan.” (At-Tabarruj wa Khatharuhu, hal. 8)
Asy-Syaikh
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Sekalipun lafadz
ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi r namun hukumnya umum untuk
seluruh wanita yang beriman, karena perintah berhijab itu ditetapkan
dengan alasan yang dinyatakan Allah I dengan firman-Nya:
“Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.”
Alasan seperti ini jelas berlaku umum, maka keumuman alasannya menunjukkan keumuman hukumnya.” (Al-Mukminat, hal. 64)
Berhijab
berarti kemuliaan bagi seorang wanita karena akan membedakan dirinya
dengan wanita yang tidak baik, di samping sebagai penjagaan bagi dirinya
dari kerusakan dan kejelekan yang semakin merata. Sungguh musuh Islam
telah mengetahui bahwa keluarnya wanita dengan tabarruj merupakan satu
pintu dari sekian pintu kejelekan dan kerusakan. Dan bila wanita rusak
maka akan rusak pula masyarakatnya. Karena itulah mereka begitu
berambisi untuk menanggalkan hijab dari wanita muslimah dan mengoyak
tirai malunya dengan berbagai propaganda syaithaniyyah. Dan sedikit
banyak mereka bisa mempengaruhi kaum muslimin dengan propaganda busuk
nan berbisa tersebut, hingga kita dapatkan adanya kaum muslimin yang
merasa “risih” dan “gerah” bila melihat seorang wanita mengenakan
hijabnya. Bahkan ada di antara kaum muslimin yang mengaku kenal agama
ikut berkoar-koar menentang hijab, wallahu al-musta’an (Allah sajalah
tempat kita mohon pertolongan).
Wahai wanita mukminah,
sesungguhnya hijab itu akan menjagamu dari pandangan-pandangan beracun
yang terlahir dari hati-hati yang sedang sakit. Dengan berhijab akan
memutus selera syahwat para serigala untuk menjerat dan memangsamu.
Karena itu jagalah dengan baik hijabmu dan jangan sekali-kali tertipu
dengan propaganda berbisa dari para penipu karena tidak ada yang mereka
inginkan darimu kecuali kejelekan, sebagaimana Allah I berfirman:
“Dan
orang-orang yang mengikuti syahwatnya berkeinginan agar kalian
berpaling sejauh-jauhnya dari kebenaran.” (An-Nisa: 27) [Al-Mukminat,
hal. 68]
Allah sajalah yang memberi hidayah dan taufik. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
1
Dan menghias-hiasinya (mempercantik) dalam pandangan lelaki sehingga
mereka terfitnah dengan wanita tersebut. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283)
2Tabarruj
adalah menampakkan perhiasan, kecantikan, keindahan, dan segala
sesuatu yang dapat mengundang syahwat di hadapan lelaki yang bukan
mahram. (Lisanul Arab, 2/212)
3 Berhijab maknanya seorang wanita
menutup tubuhnya dari lelaki yang bukan mahramnya, dan penutup itu bisa
berupa dinding/ tembok, pintu ataupun berupa pakaian yang dikenakan
(Al-Mukminat, hal. 63-64)
4 Rida adalah pakaian/ kain yang diselimutkan ke bagian atas tubuh, sedangkan tsiyab adalah pakaian luar.
5
Demikianlah kebiasaan Rasulullah r sehabis malam pengantin beliau.
Beliau mendatangi semua rumah istrinya pada pagi harinya untuk
mengucapkan salam kepada mereka dan mendoakan mereka, mereka pun
melakukan hal yang sama kepada beliau, sebagaimana hal ini disebutkan
dalam riwayat Ahmad (Fathul Bari, 8/651). Demikianlah akhlak Ummahatul
Mukminin ketika mendapati suami mereka menikah lagi. Mereka doakan suami
mereka dengan keberkahan, tidak seperti kebanyakan istri-istri kaum
muslimin pada hari ini yang mungkin akan melemparkan sumpah serapah
kepada suaminya bila menikah lagi atau melakukan hal-hal lain yang tidak
pantas, wallahu al-musta`an.
6 Beliau malu untuk menyuruh
mereka keluar dari rumah beliau. Beliau hanya berdiri dan keluar agar
mereka bisa memahami apa yang beliau inginkan tanpa harus beliau
ucapkan dengan lisan (Fathul Bari, 8/651)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar